Manfaat Cerita BAgi Perkembangan Anak
Secara naluriah, setiap anak
(termasuk saya di masa kecil) senang dengan cerita atau dongeng karena
berkembangnya kemampuan berbicara anak semakin menuntut keingintahuan
mereka akan banyak hal dengan cara diceritakan. Bercerita atau
mendongeng merupakan metode sekaligus media komunikasi yang menjadi
tradisi dari generasi ke generasi meskipun peran dan fungsinya kini
mulai tergantikan oleh tayangan-tayangan televisi dan game di
komputer. Padahal, bercerita atau mendongeng dapat membangun dan
mengembangkan kepribadian anak.
Sebuah cerita merupakan refleksi kehidupan nyata, sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi pendengar dan pembacanya, termasuk anak-anak. Alur dan tutur cerita memberikan sentuhan emosi yang luar biasa dalam kesehariaan anak, sehingga cerita memberikan banyak manfaat bagi perkembangan kepribadian anak. Sewaktu kecil, saya pernah mengalami hal ini karena saya begitu senang ketika dibacakan cerita atau dongeng. Namun, semua kembali kepada jenis dan isi cerita, serta teknik bercerita kita sebagai orang tua. Cerita yang bagaimana yang baik untuk anak? Apa saja manfaat cerita untuk anak?
Dalam bercerita atau mendongeng ada prinsip-prinsip tertentu yang harus dipegang oleh kita sebagai orang tua. Prinsip yang utama yang saya tekankan ialah sebuah cerita atau dongeng harus memiliki nilai yang mencerminkan tanggung jawab dalam mengembangkan kepribadian anak. Dalam hal ini, kita harus cerdas untuk memilah dan memilih cerita atau dongeng yang mengandung pesan dan nilai positif bagi perkembangan kepribadian anak, baik secara psikologis maupun moral. Sebagai sebuah metode dan media komunikasi, cerita atau dongeng yang kita bacakan juga harus memberikan efek fun and learning bagi anak agar pesan dan nilai-nilai yang terkandung mudah diserap anak. Selain itu, kemampuan kita bercerita juga merupakan hal penting dalam menunjang kemanfaatan sebuah cerita atau dongeng.
Berikut ini beberapa manfaat cerita bagi kepribadian anak.
Bercerita atau mendongeng merupakan cara sederhana yang memiliki arti dan bisa memberikan dampak luar biasa bagi kepribadian anak-anak kita. Anak-anak kita adalah belahan jiwa kita, seperti matahari yang tiada henti menyinari kehidupan kita sebagai sebuah keluarga. Membahagiakan anak tidak selalu bisa kita lakukan dengan memenuhi kebutuhan materialnya, tetapi lebih dari itu, kebutuhan ruhani, kedekatan dan ikatan batin yang kuat merupakan bentuk kebahagiaan yang utuh dalam membangun dan membentuk kepribadiannya. (Sumber : Nia Hidayat/hidayati.net)
Sebuah cerita merupakan refleksi kehidupan nyata, sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi pendengar dan pembacanya, termasuk anak-anak. Alur dan tutur cerita memberikan sentuhan emosi yang luar biasa dalam kesehariaan anak, sehingga cerita memberikan banyak manfaat bagi perkembangan kepribadian anak. Sewaktu kecil, saya pernah mengalami hal ini karena saya begitu senang ketika dibacakan cerita atau dongeng. Namun, semua kembali kepada jenis dan isi cerita, serta teknik bercerita kita sebagai orang tua. Cerita yang bagaimana yang baik untuk anak? Apa saja manfaat cerita untuk anak?
Dalam bercerita atau mendongeng ada prinsip-prinsip tertentu yang harus dipegang oleh kita sebagai orang tua. Prinsip yang utama yang saya tekankan ialah sebuah cerita atau dongeng harus memiliki nilai yang mencerminkan tanggung jawab dalam mengembangkan kepribadian anak. Dalam hal ini, kita harus cerdas untuk memilah dan memilih cerita atau dongeng yang mengandung pesan dan nilai positif bagi perkembangan kepribadian anak, baik secara psikologis maupun moral. Sebagai sebuah metode dan media komunikasi, cerita atau dongeng yang kita bacakan juga harus memberikan efek fun and learning bagi anak agar pesan dan nilai-nilai yang terkandung mudah diserap anak. Selain itu, kemampuan kita bercerita juga merupakan hal penting dalam menunjang kemanfaatan sebuah cerita atau dongeng.
Berikut ini beberapa manfaat cerita bagi kepribadian anak.
- Mengembangkan kemampuan berbicara dan memperkaya kosa kata anak, terutama bagi anak-anak batita yang sedang belajar bicara. Kata-kata baru yang didengar melalui dongeng akan semakin memperkaya kosa kata dalam berbicara, sehingga secara tidak langsung kita telah mengajarkan perbendaharaan kata yang banyak kepada anak melalui cerita. Bagi anak-anak usia SD cerita juga bisa melatih dan memperkaya kemampuan berbahasa dan memahami struktur kalimat yang lebih kompleks.
- Bercerita atau mendongeng merupakan proses mengenalkan bentuk-bentuk emosi dan ekspresi kepada anak, misalnya marah, sedih, gembira, kesal dan lucu. Hal ini akan memperkaya pengalaman emosinya yang akan berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kecerdasan emosionalnya. Karena itu, ketika bercerita berikan penekanan intonasi pada bentuk emosi tertentu, dengan menunjukkan mimik atau ekspresi yang sesuai, sehingga anak mampu mengenali dan memahami bentuk-bentuk emosi tersebut.
- Memberikan efek menyenangkan, bahagia dan ceria, khususnya bila cerita yang disajikan adalah cerita lucu. Secara psikologis, cerita lucu membuat anak senang dan gembira. Rasa nyaman dan bahagia lebih memudahkannya untuk meyerap nilai-nilai yang kita ajarkan melalui cerita. Perlu kita ketahui bahwa lucu tidak sama dengan clowning (membadut). Kriteria lucu di sini bukan menonjolkan cerita tentang perilaku yang terlihat kebodoh-bodohan atau konyol, sehingga anak tidak belajar meniru untuk melecehkan kondisi orang lain yang memiliki kekurangan. Kelucuan yang segar dan mendidik bisa membuat anak tidak saja mudah tersenyum, bisa tertawa atau jarang menangis, tetapi mampu menstimulasi kreativitasnya dan keingintahuannya.
- Mentimulasi daya imajinasi dan kreativitas anak, memperkuat daya ingat, serta membuka cakrawala pemikiran anak menjadi lebih kritis dan cerdas. Alur cerita dengan menampilkan bentuk-bentuk emosi akan menumbuhkkembangkan daya imajinasi anak, sehingga ia merasakan senang belajar dengan membayangkan cerita tersebut. Suatu saat ia bisa menuliskan atau menceritakan kembali isi cerita tersebut. Sebagai orang tua, kita bisa mulai bercerita dengan ending yang menggantung, biarkan ia berimajinasi dan menebak kelanjutannya atau kita sendiri memintanya untuk melanjutkan cerita tersebut. Dengan demikian, imajinasi dan kreativitasnya lebih terlatih, terutama ketika di usia sekolah ia mendapat tugas mengarang atau menulis
- Dapat menumbuhkan empati dalam diri anak. Karena itu, cerita yang kita bacakan harus sesuai dengan prinsip yang saya jelaskan di atas. Jika anak dibacakan cerita yang menyentuh jiwa dan perasaan atau bahkan cerita yang bersumber dari pengalaman masa kecil kita, kejadian-kejadian di lingkungan sosial atau tayangan televisi yang menarik dan menyentuh sisi kemanusiaan, maka perasaannya akan tersentuh dan ia mulai memiliki rasa empati, mulai dapat membedakan mana yang pantas ditiru dan harus dijauhi. Misalnya, ketika menonton liputan tentang bencana, kita bisa menceritakan betapa menderitanya mereka yang tertimpa bencana dan kita wajib membantunya.
- Melatih dan mengembangkan kecerdasan anak. Cerita tidak saja menyenangkan, tetapi memberikan manfaat luar biasa bagi kecerdasan anak secara inteligen (kognitif), emosional (afektif), spiritual dan visual anak. Secara kognitif yaitu akan mempermudah proses pembelajaran pada anak, karena kemampuan berpikir otak lebih mudah menyerap nilai yang terkandung dalam cerita. Secara afektif, cerita akan mempengaruhi suasana hati dan menumbuhkan perasaan-perasaan empati dan positif pada anak. Secara spiritual, cerita juga bisa menggugah kesadaran ruhani, menyentuh bagian terdalam diri anak-anak kita, serta melatih kemampuan, kemauan dan kecerdasan mereka akan keberadaan Tuhan dalam hidup mereka. Hal ini secara psikomotorik akan menuntun mereka untuk bisa mengaplikasikan apa yang mereka dengar dari cerita melalui bentuk-bentuk ibadah. Kisah kehidupan Rasulullah SAW (Sejarah Islam), kisah para sahabat Nabi atau para syuhada merupakan cerita realita yang tepat untuk menstimulasi kecerdasan mereka.
- Sebagai langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Ketertarikan pada cerita akan membuat anak penasaran, ingin mengetahui dan membaca bukunya. Semakin tinggi rasa ingin tahunya, semakin tingi pula minat bacanya, sehingga kelak ia menjadi anak yang suka membaca dan menghargai ilmu.
- Merupakan cara paling baik untuk mendidik tanpa kekerasan, menanamkan nilai moral dan etika juga kebenaran, serta melatih kedisiplinan. Bercerita atau mendongeng merupakan cara yang efektif untuk memberikan sentuhan manusiawi (human touch) dan menumbuhkan sportivitas anak. Anak lebih bisa memahami hal yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru melalui cerita yang kita ungkapkan. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar, serta memudahkan mereka menilai dan memposisikan diri di tengah-tengah orang lain.
- Membangun hubungan personal dan mempererat ikatan batin orang tua dengan anak. Ini merupakan manfaat yang paling penting bagi kita juga anak-anak kita, terutama bagi kita yang tidak bisa selalu mendampinginya. Membacakan cerita merupakan kesempatan kita untuk lebih dekat dengan mereka, sehingga terbina sebuah komunikasi yang baik.
Bercerita atau mendongeng merupakan cara sederhana yang memiliki arti dan bisa memberikan dampak luar biasa bagi kepribadian anak-anak kita. Anak-anak kita adalah belahan jiwa kita, seperti matahari yang tiada henti menyinari kehidupan kita sebagai sebuah keluarga. Membahagiakan anak tidak selalu bisa kita lakukan dengan memenuhi kebutuhan materialnya, tetapi lebih dari itu, kebutuhan ruhani, kedekatan dan ikatan batin yang kuat merupakan bentuk kebahagiaan yang utuh dalam membangun dan membentuk kepribadiannya. (Sumber : Nia Hidayat/hidayati.net)
Pembahasan kalau sudah
menyangkut masalah uang, biasanya akan menjadi sesuatu yang sensitif.
Bahkan sampai pada perdebatan sengit dengan berbagai alasan serta
pembenaran menurut versi masing-masing pihak. Begitu juga dengan diskusi
yang terjadi di salah satu grup Whatsapp, ketika sampai pada pembahasan
mengenai sebuah dampak sebuah kegiatan antara yang berbayar dengan yang
gratis. Diskusi berubah menjadi ajang adu argumentasi dengan berbagai
alasan dari sudut pandang masing-masing anggota grup. Sebagian tetap
memegang teguh prinsipnya bahwa kegiatan yang berbayar lebih baik
daripada yang gratis, sedangkan pihak lain malah mengklaim yang
sebaliknya.
Tapi saya tidak akan membahas masalah di grup tersebut, namun lebih
kepada pengalaman pribadi yang saya alami. Beberapa kali pengalaman saya
mengajak teman-teman untuk mengikuti sebuah seminar atau training
pengembangan diri, pasti pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah
“Berapa biayanya ?” atau “Gratis gak acaranya ?”
Kalau acaranya berbayar apalagi kalau harga tiket seminar tersebut
lumayan mahal, umumnya mereka akan mundur teratur dan menolak untuk ikut
dengan berbagai alasan walaupun materi yang disampaikan dalam seminar
tersebut bagus dan dibawakan oleh trainer yang sudah mempunyai nama
serta track record yang bagus. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa harga
berbanding lurus dengan kualitas, dan kalau kita ingin mendapatkan ilmu
yang berkualitas maka memang harus ada harga yang mesti kita bayar.
Bagi saya pribadi ketika saya ingin mengembangkan diri dan belajar
kepada para mentor dan guru saya, tidak pernah sekalipun saya mengatakan
“Boleh saya minta tiket gratis seminar Bapak ?” atau “Bagi dong bukunya
gratis Pak”. Sampai saat ini dan untuk ke depannya saya berusaha untuk
menjaga agar jangan sampai saya mengatakan hal tersebut.
Mengapa? Pertama, saya menghormati diri saya sendiri. Karena kalau kita
meminta-minta sama saja kita merendahkan diri kita sendiri dan tidak
menghormari ilmu yang akan kita peroleh. Lebih baik saya berkata terus
terang dan meminta keringanan untuk mencicil biaya sesuai dengan
kemampuan saya pribadi.
Kedua, saya menghormati para mentor dan guru saya termasuk ilmu yang
mereka miliki. Mereka dulunya ketika belajar dan mendapatkan ilmu
tersebut juga pasti ada pengorbanannya. Silahkan saja Anda bayangkan
berapa materi serta waktu yang telah mereka korbankan untuk menghadirkan
ilmu dalam bentuk seminar atau buku tersebut kehadapan kita.
Ketiga, saya juga mengetahui bahwa hasil penjualan buku dan seminar
tersebut bukanlah sepenuhnya menjadi hak para penulis atau trainer. Buku
itu sepenuhnya adalah hak penerbit dan toko buku, penulis biasanya
hanya dapat royalti sekitar 10%. Dan untuk seminar biasanya ada
kerjasama dan bagi hasil dengan EO.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, akan lebih besar manfaat
dan hasil yang saya dapatkan dari sebuah buku atau seminar yang berbayar
daripada yang gratis. Karena kalau kita mengikuti seminar yang berbayar
atau membeli buku maka secara tidak langsung kita telah menghormati
diri sendiri, menghormati ilmu yang didapat serta menghormati
mentor/guru, sehingga kita mempunyai semacam tanggungjawab moral untuk
mengaplikasikan dan memanfaatkan ilmu yang didapat tersebut. Tidak
percaya …??? Silahkan Anda buktikan sendiri.
Kalau pun suatu saat Anda diberikan tiket seminar atau buku gratis, ya
tidak masalah (saya pun pernah mengalami dapat tiket dan buku gratis).
Karena itu datang dari kerelaan dan keikhlasan orang yang memberi bukan
karena kita yang mengemis dan meminta. Biasanya orang yang suka
meminta-minta tidak akan mendapatkan apapun kecuali hanya pandangan
remeh dari orang sekitarnya.
Jadi mulai sekarang hati-hati dengan mental gratisan.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian BERNAS Jogjakarta edisi Jumat, 17
Juni 2016 dengan judul “Menghargai Ilmu”)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Pembahasan kalau sudah
menyangkut masalah uang, biasanya akan menjadi sesuatu yang sensitif.
Bahkan sampai pada perdebatan sengit dengan berbagai alasan serta
pembenaran menurut versi masing-masing pihak. Begitu juga dengan diskusi
yang terjadi di salah satu grup Whatsapp, ketika sampai pada pembahasan
mengenai sebuah dampak sebuah kegiatan antara yang berbayar dengan yang
gratis. Diskusi berubah menjadi ajang adu argumentasi dengan berbagai
alasan dari sudut pandang masing-masing anggota grup. Sebagian tetap
memegang teguh prinsipnya bahwa kegiatan yang berbayar lebih baik
daripada yang gratis, sedangkan pihak lain malah mengklaim yang
sebaliknya.
Tapi saya tidak akan membahas masalah di grup tersebut, namun lebih
kepada pengalaman pribadi yang saya alami. Beberapa kali pengalaman saya
mengajak teman-teman untuk mengikuti sebuah seminar atau training
pengembangan diri, pasti pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah
“Berapa biayanya ?” atau “Gratis gak acaranya ?”
Kalau acaranya berbayar apalagi kalau harga tiket seminar tersebut
lumayan mahal, umumnya mereka akan mundur teratur dan menolak untuk ikut
dengan berbagai alasan walaupun materi yang disampaikan dalam seminar
tersebut bagus dan dibawakan oleh trainer yang sudah mempunyai nama
serta track record yang bagus. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa harga
berbanding lurus dengan kualitas, dan kalau kita ingin mendapatkan ilmu
yang berkualitas maka memang harus ada harga yang mesti kita bayar.
Bagi saya pribadi ketika saya ingin mengembangkan diri dan belajar
kepada para mentor dan guru saya, tidak pernah sekalipun saya mengatakan
“Boleh saya minta tiket gratis seminar Bapak ?” atau “Bagi dong bukunya
gratis Pak”. Sampai saat ini dan untuk ke depannya saya berusaha untuk
menjaga agar jangan sampai saya mengatakan hal tersebut.
Mengapa? Pertama, saya menghormati diri saya sendiri. Karena kalau kita
meminta-minta sama saja kita merendahkan diri kita sendiri dan tidak
menghormari ilmu yang akan kita peroleh. Lebih baik saya berkata terus
terang dan meminta keringanan untuk mencicil biaya sesuai dengan
kemampuan saya pribadi.
Kedua, saya menghormati para mentor dan guru saya termasuk ilmu yang
mereka miliki. Mereka dulunya ketika belajar dan mendapatkan ilmu
tersebut juga pasti ada pengorbanannya. Silahkan saja Anda bayangkan
berapa materi serta waktu yang telah mereka korbankan untuk menghadirkan
ilmu dalam bentuk seminar atau buku tersebut kehadapan kita.
Ketiga, saya juga mengetahui bahwa hasil penjualan buku dan seminar
tersebut bukanlah sepenuhnya menjadi hak para penulis atau trainer. Buku
itu sepenuhnya adalah hak penerbit dan toko buku, penulis biasanya
hanya dapat royalti sekitar 10%. Dan untuk seminar biasanya ada
kerjasama dan bagi hasil dengan EO.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, akan lebih besar manfaat
dan hasil yang saya dapatkan dari sebuah buku atau seminar yang berbayar
daripada yang gratis. Karena kalau kita mengikuti seminar yang berbayar
atau membeli buku maka secara tidak langsung kita telah menghormati
diri sendiri, menghormati ilmu yang didapat serta menghormati
mentor/guru, sehingga kita mempunyai semacam tanggungjawab moral untuk
mengaplikasikan dan memanfaatkan ilmu yang didapat tersebut. Tidak
percaya …??? Silahkan Anda buktikan sendiri.
Kalau pun suatu saat Anda diberikan tiket seminar atau buku gratis, ya
tidak masalah (saya pun pernah mengalami dapat tiket dan buku gratis).
Karena itu datang dari kerelaan dan keikhlasan orang yang memberi bukan
karena kita yang mengemis dan meminta. Biasanya orang yang suka
meminta-minta tidak akan mendapatkan apapun kecuali hanya pandangan
remeh dari orang sekitarnya.
Jadi mulai sekarang hati-hati dengan mental gratisan.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian BERNAS Jogjakarta edisi Jumat, 17
Juni 2016 dengan judul “Menghargai Ilmu”)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Pembahasan kalau sudah
menyangkut masalah uang, biasanya akan menjadi sesuatu yang sensitif.
Bahkan sampai pada perdebatan sengit dengan berbagai alasan serta
pembenaran menurut versi masing-masing pihak. Begitu juga dengan diskusi
yang terjadi di salah satu grup Whatsapp, ketika sampai pada pembahasan
mengenai sebuah dampak sebuah kegiatan antara yang berbayar dengan yang
gratis. Diskusi berubah menjadi ajang adu argumentasi dengan berbagai
alasan dari sudut pandang masing-masing anggota grup. Sebagian tetap
memegang teguh prinsipnya bahwa kegiatan yang berbayar lebih baik
daripada yang gratis, sedangkan pihak lain malah mengklaim yang
sebaliknya.
Tapi saya tidak akan membahas masalah di grup tersebut, namun lebih
kepada pengalaman pribadi yang saya alami. Beberapa kali pengalaman saya
mengajak teman-teman untuk mengikuti sebuah seminar atau training
pengembangan diri, pasti pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah
“Berapa biayanya ?” atau “Gratis gak acaranya ?”
Kalau acaranya berbayar apalagi kalau harga tiket seminar tersebut
lumayan mahal, umumnya mereka akan mundur teratur dan menolak untuk ikut
dengan berbagai alasan walaupun materi yang disampaikan dalam seminar
tersebut bagus dan dibawakan oleh trainer yang sudah mempunyai nama
serta track record yang bagus. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa harga
berbanding lurus dengan kualitas, dan kalau kita ingin mendapatkan ilmu
yang berkualitas maka memang harus ada harga yang mesti kita bayar.
Bagi saya pribadi ketika saya ingin mengembangkan diri dan belajar
kepada para mentor dan guru saya, tidak pernah sekalipun saya mengatakan
“Boleh saya minta tiket gratis seminar Bapak ?” atau “Bagi dong bukunya
gratis Pak”. Sampai saat ini dan untuk ke depannya saya berusaha untuk
menjaga agar jangan sampai saya mengatakan hal tersebut.
Mengapa? Pertama, saya menghormati diri saya sendiri. Karena kalau kita
meminta-minta sama saja kita merendahkan diri kita sendiri dan tidak
menghormari ilmu yang akan kita peroleh. Lebih baik saya berkata terus
terang dan meminta keringanan untuk mencicil biaya sesuai dengan
kemampuan saya pribadi.
Kedua, saya menghormati para mentor dan guru saya termasuk ilmu yang
mereka miliki. Mereka dulunya ketika belajar dan mendapatkan ilmu
tersebut juga pasti ada pengorbanannya. Silahkan saja Anda bayangkan
berapa materi serta waktu yang telah mereka korbankan untuk menghadirkan
ilmu dalam bentuk seminar atau buku tersebut kehadapan kita.
Ketiga, saya juga mengetahui bahwa hasil penjualan buku dan seminar
tersebut bukanlah sepenuhnya menjadi hak para penulis atau trainer. Buku
itu sepenuhnya adalah hak penerbit dan toko buku, penulis biasanya
hanya dapat royalti sekitar 10%. Dan untuk seminar biasanya ada
kerjasama dan bagi hasil dengan EO.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, akan lebih besar manfaat
dan hasil yang saya dapatkan dari sebuah buku atau seminar yang berbayar
daripada yang gratis. Karena kalau kita mengikuti seminar yang berbayar
atau membeli buku maka secara tidak langsung kita telah menghormati
diri sendiri, menghormati ilmu yang didapat serta menghormati
mentor/guru, sehingga kita mempunyai semacam tanggungjawab moral untuk
mengaplikasikan dan memanfaatkan ilmu yang didapat tersebut. Tidak
percaya …??? Silahkan Anda buktikan sendiri.
Kalau pun suatu saat Anda diberikan tiket seminar atau buku gratis, ya
tidak masalah (saya pun pernah mengalami dapat tiket dan buku gratis).
Karena itu datang dari kerelaan dan keikhlasan orang yang memberi bukan
karena kita yang mengemis dan meminta. Biasanya orang yang suka
meminta-minta tidak akan mendapatkan apapun kecuali hanya pandangan
remeh dari orang sekitarnya.
Jadi mulai sekarang hati-hati dengan mental gratisan.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian BERNAS Jogjakarta edisi Jumat, 17
Juni 2016 dengan judul “Menghargai Ilmu”)
Denni Candra
/dennicandra
TERVERIFIKASI
Lelaki sederhana yang mencoba bersahabat dengan aksara untuk merangkai
kata dan merajut makna. Mau kenal lebih dekat, silahkan kunjungi
www.dennicandra.com
Selengkapnya...
IKUTI
Share
0
0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Pembahasan kalau sudah
menyangkut masalah uang, biasanya akan menjadi sesuatu yang sensitif.
Bahkan sampai pada perdebatan sengit dengan berbagai alasan serta
pembenaran menurut versi masing-masing pihak. Begitu juga dengan diskusi
yang terjadi di salah satu grup Whatsapp, ketika sampai pada pembahasan
mengenai sebuah dampak sebuah kegiatan antara yang berbayar dengan yang
gratis. Diskusi berubah menjadi ajang adu argumentasi dengan berbagai
alasan dari sudut pandang masing-masing anggota grup. Sebagian tetap
memegang teguh prinsipnya bahwa kegiatan yang berbayar lebih baik
daripada yang gratis, sedangkan pihak lain malah mengklaim yang
sebaliknya.
Tapi saya tidak akan membahas masalah di grup tersebut, namun lebih
kepada pengalaman pribadi yang saya alami. Beberapa kali pengalaman saya
mengajak teman-teman untuk mengikuti sebuah seminar atau training
pengembangan diri, pasti pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah
“Berapa biayanya ?” atau “Gratis gak acaranya ?”
Kalau acaranya berbayar apalagi kalau harga tiket seminar tersebut
lumayan mahal, umumnya mereka akan mundur teratur dan menolak untuk ikut
dengan berbagai alasan walaupun materi yang disampaikan dalam seminar
tersebut bagus dan dibawakan oleh trainer yang sudah mempunyai nama
serta track record yang bagus. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa harga
berbanding lurus dengan kualitas, dan kalau kita ingin mendapatkan ilmu
yang berkualitas maka memang harus ada harga yang mesti kita bayar.
Bagi saya pribadi ketika saya ingin mengembangkan diri dan belajar
kepada para mentor dan guru saya, tidak pernah sekalipun saya mengatakan
“Boleh saya minta tiket gratis seminar Bapak ?” atau “Bagi dong bukunya
gratis Pak”. Sampai saat ini dan untuk ke depannya saya berusaha untuk
menjaga agar jangan sampai saya mengatakan hal tersebut.
Mengapa? Pertama, saya menghormati diri saya sendiri. Karena kalau kita
meminta-minta sama saja kita merendahkan diri kita sendiri dan tidak
menghormari ilmu yang akan kita peroleh. Lebih baik saya berkata terus
terang dan meminta keringanan untuk mencicil biaya sesuai dengan
kemampuan saya pribadi.
Kedua, saya menghormati para mentor dan guru saya termasuk ilmu yang
mereka miliki. Mereka dulunya ketika belajar dan mendapatkan ilmu
tersebut juga pasti ada pengorbanannya. Silahkan saja Anda bayangkan
berapa materi serta waktu yang telah mereka korbankan untuk menghadirkan
ilmu dalam bentuk seminar atau buku tersebut kehadapan kita.
Ketiga, saya juga mengetahui bahwa hasil penjualan buku dan seminar
tersebut bukanlah sepenuhnya menjadi hak para penulis atau trainer. Buku
itu sepenuhnya adalah hak penerbit dan toko buku, penulis biasanya
hanya dapat royalti sekitar 10%. Dan untuk seminar biasanya ada
kerjasama dan bagi hasil dengan EO.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, akan lebih besar manfaat
dan hasil yang saya dapatkan dari sebuah buku atau seminar yang berbayar
daripada yang gratis. Karena kalau kita mengikuti seminar yang berbayar
atau membeli buku maka secara tidak langsung kita telah menghormati
diri sendiri, menghormati ilmu yang didapat serta menghormati
mentor/guru, sehingga kita mempunyai semacam tanggungjawab moral untuk
mengaplikasikan dan memanfaatkan ilmu yang didapat tersebut. Tidak
percaya …??? Silahkan Anda buktikan sendiri.
Kalau pun suatu saat Anda diberikan tiket seminar atau buku gratis, ya
tidak masalah (saya pun pernah mengalami dapat tiket dan buku gratis).
Karena itu datang dari kerelaan dan keikhlasan orang yang memberi bukan
karena kita yang mengemis dan meminta. Biasanya orang yang suka
meminta-minta tidak akan mendapatkan apapun kecuali hanya pandangan
remeh dari orang sekitarnya.
Jadi mulai sekarang hati-hati dengan mental gratisan.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian BERNAS Jogjakarta edisi Jumat, 17
Juni 2016 dengan judul “Menghargai Ilmu”)
Denni Candra
/dennicandra
TERVERIFIKASI
Lelaki sederhana yang mencoba bersahabat dengan aksara untuk merangkai
kata dan merajut makna. Mau kenal lebih dekat, silahkan kunjungi
www.dennicandra.com
Selengkapnya...
IKUTI
Share
0
0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Pembahasan kalau sudah
menyangkut masalah uang, biasanya akan menjadi sesuatu yang sensitif.
Bahkan sampai pada perdebatan sengit dengan berbagai alasan serta
pembenaran menurut versi masing-masing pihak. Begitu juga dengan diskusi
yang terjadi di salah satu grup Whatsapp, ketika sampai pada pembahasan
mengenai sebuah dampak sebuah kegiatan antara yang berbayar dengan yang
gratis. Diskusi berubah menjadi ajang adu argumentasi dengan berbagai
alasan dari sudut pandang masing-masing anggota grup. Sebagian tetap
memegang teguh prinsipnya bahwa kegiatan yang berbayar lebih baik
daripada yang gratis, sedangkan pihak lain malah mengklaim yang
sebaliknya.
Tapi saya tidak akan membahas masalah di grup tersebut, namun lebih
kepada pengalaman pribadi yang saya alami. Beberapa kali pengalaman saya
mengajak teman-teman untuk mengikuti sebuah seminar atau training
pengembangan diri, pasti pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah
“Berapa biayanya ?” atau “Gratis gak acaranya ?”
Kalau acaranya berbayar apalagi kalau harga tiket seminar tersebut
lumayan mahal, umumnya mereka akan mundur teratur dan menolak untuk ikut
dengan berbagai alasan walaupun materi yang disampaikan dalam seminar
tersebut bagus dan dibawakan oleh trainer yang sudah mempunyai nama
serta track record yang bagus. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa harga
berbanding lurus dengan kualitas, dan kalau kita ingin mendapatkan ilmu
yang berkualitas maka memang harus ada harga yang mesti kita bayar.
Bagi saya pribadi ketika saya ingin mengembangkan diri dan belajar
kepada para mentor dan guru saya, tidak pernah sekalipun saya mengatakan
“Boleh saya minta tiket gratis seminar Bapak ?” atau “Bagi dong bukunya
gratis Pak”. Sampai saat ini dan untuk ke depannya saya berusaha untuk
menjaga agar jangan sampai saya mengatakan hal tersebut.
Mengapa? Pertama, saya menghormati diri saya sendiri. Karena kalau kita
meminta-minta sama saja kita merendahkan diri kita sendiri dan tidak
menghormari ilmu yang akan kita peroleh. Lebih baik saya berkata terus
terang dan meminta keringanan untuk mencicil biaya sesuai dengan
kemampuan saya pribadi.
Kedua, saya menghormati para mentor dan guru saya termasuk ilmu yang
mereka miliki. Mereka dulunya ketika belajar dan mendapatkan ilmu
tersebut juga pasti ada pengorbanannya. Silahkan saja Anda bayangkan
berapa materi serta waktu yang telah mereka korbankan untuk menghadirkan
ilmu dalam bentuk seminar atau buku tersebut kehadapan kita.
Ketiga, saya juga mengetahui bahwa hasil penjualan buku dan seminar
tersebut bukanlah sepenuhnya menjadi hak para penulis atau trainer. Buku
itu sepenuhnya adalah hak penerbit dan toko buku, penulis biasanya
hanya dapat royalti sekitar 10%. Dan untuk seminar biasanya ada
kerjasama dan bagi hasil dengan EO.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, akan lebih besar manfaat
dan hasil yang saya dapatkan dari sebuah buku atau seminar yang berbayar
daripada yang gratis. Karena kalau kita mengikuti seminar yang berbayar
atau membeli buku maka secara tidak langsung kita telah menghormati
diri sendiri, menghormati ilmu yang didapat serta menghormati
mentor/guru, sehingga kita mempunyai semacam tanggungjawab moral untuk
mengaplikasikan dan memanfaatkan ilmu yang didapat tersebut. Tidak
percaya …??? Silahkan Anda buktikan sendiri.
Kalau pun suatu saat Anda diberikan tiket seminar atau buku gratis, ya
tidak masalah (saya pun pernah mengalami dapat tiket dan buku gratis).
Karena itu datang dari kerelaan dan keikhlasan orang yang memberi bukan
karena kita yang mengemis dan meminta. Biasanya orang yang suka
meminta-minta tidak akan mendapatkan apapun kecuali hanya pandangan
remeh dari orang sekitarnya.
Jadi mulai sekarang hati-hati dengan mental gratisan.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian BERNAS Jogjakarta edisi Jumat, 17
Juni 2016 dengan judul “Menghargai Ilmu”)
Denni Candra
/dennicandra
TERVERIFIKASI
Lelaki sederhana yang mencoba bersahabat dengan aksara untuk merangkai
kata dan merajut makna. Mau kenal lebih dekat, silahkan kunjungi
www.dennicandra.com
Selengkapnya...
IKUTI
Share
0
0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/menghargai-ilmu_5763565f27b0bd430fc804a0
No comments:
Post a Comment